Hak cuti karyawan adalah suatu bentuk libur dari rutinitas kantor, yang memiliki perlindungan hukum agar kamu punya waktu istirahat yang cukup tanpa takut kehilangan pendapatan.
Baik itu cuti tahunan, cuti sakit, cuti melahirkan, maupun cuti karena alasan penting lainnya, semuanya punya aturan jelas yang melindungi posisi kamu sebagai pekerja.
Menurut CNN, hak cuti karyawan di Eropa umumnya jauh lebih besar dan terjamin dengan minimal 20-30 hari cuti tahunan berbayar.
Sementara di Amerika Serikat cuti berbayar tidak wajib secara federal dan biasanya lebih sedikit, sekitar 10 hari, serta sering kali tidak digunakan penuh oleh pekerja karena budaya kerja dan tekanan perusahaan.
Lalu bagaimana dengan hak cuti karyawan di Indonesia? Apakah memiliki kemiripan? Atau justru terdapat perbedaan yang begitu mencolok?
Untuk mendapatkan jawabannya, mari kita simak artikel di bawah ini!
Dasar Hukum terkait Cuti Karyawan

Sebagai pekerja yang terikat perjanjian kerja, selain menerima gaji, kamu juga memiliki hak cuti karyawan yang diatur menurut UU Tenaga Kerja.
Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian sebagian ketentuannya diperbarui melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Regulasi tersebut menjelaskan secara rinci mengenai jumlah hak cuti karyawan dalam setahun, jenis-jenis cuti, dan mekanisme pengajuannya.
Bahkan, hak cuti karyawan menurut Depnaker menegaskan bahwa cuti adalah bagian dari hak normatif yang wajib diberikan oleh perusahaan.
Dengan adanya dasar hukum ini, kamu tidak perlu khawatir saat mengajukan cuti, karena hak tersebut dilindungi negara.
Jenis Hak Cuti Karyawan
Dalam dunia kerja, hak cuti karyawan terbagi menjadi dua kategori utama: cuti berbayar dan cuti tidak berbayar. Perbedaan keduanya ada pada apakah kamu tetap menerima gaji selama masa cuti atau tidak.
1. Cuti Berbayar
Cuti berbayar adalah jenis cuti di mana kamu tetap menerima gaji penuh atau sebagian selama masa libur.
Contoh paling umum adalah cuti tahunan, cuti sakit, atau cuti melahirkan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia, khususnya Pasal 79 dan 95.
Dalam kasus ini, perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar upah kamu sesuai ketentuan yang berlaku.
Jadi, meskipun kamu tidak hadir di kantor, statusmu tetap sebagai karyawan aktif dengan hak finansial yang terjamin.
2. Cuti Tidak Berbayar
Berbeda dari cuti berbayar, cuti tidak berbayar atau unpaid leave adalah cuti yang kamu ambil tanpa menerima gaji dari perusahaan.
Mengacu pada Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa
“upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.”
Artinya, perusahaan memiliki hak untuk tidak membayar gaji karyawan yang mengambil cuti karena alasan pribadi, selama cuti tersebut tidak termasuk dalam kategori cuti berbayar (paid leave) yang sudah diatur undang-undang.
Kamu bisa mengajukan cuti ini untuk berbagai alasan pribadi, seperti memperpanjang masa cuti melahirkan, melanjutkan studi, atau menangani urusan keluarga yang mendesak.
Jadi, jika kamu berencana mengambil cuti jenis ini, pastikan komunikasinya jelas sejak awal, termasuk konsekuensi terhadap gaji dan tunjangan.
Macam-Macam Hak Cuti Karyawan Swasta yang Berbayar beserta Aturannya
Pasca terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, regulasi untuk hak cuti karyawan tetap merujuk pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi acuan utama hingga sekarang.
Dalam Pasal 79 ayat (1) UU tersebut, secara tegas disebutkan bahwa:
“Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.”
Tujuannya adalah untuk melindungi hak karyawan agar mereka memiliki waktu istirahat yang cukup, menjaga kesehatan fisik dan mental, sekaligus mencegah kelelahan kerja yang berlebihan.
Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai berbagai hak cuti karaywan yang diatur undang-undang dan wajib diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya.
1. Cuti Tahunan
Cuti tahunan diatur dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan yang kemudian diperbarui lewat UU Cipta Kerja, yang berbunyi:
Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah Pekerja/Buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Aturannya adalah karyawan berhak mendapat cuti tahunan minimal 12 hari kerja setelah bekerja selama 12 bulan berturut-turut di perusahaan.
Hak ini sifatnya berbayar, artinya selama cuti tahunan, kamu tetap menerima gaji penuh. Secara praktik, hak cuti tahunan mulai bisa digunakan saat memasuki bulan ke-13 masa kerja.
Namun, pelaksanaannya bisa berbeda-beda tergantung perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), selama tidak mengurangi hak minimum yang diatur undang-undang.
Ada perusahaan yang membolehkan cuti di tahun pertama, ada juga yang menghitungnya secara pro-rate, misalnya satu hari per bulan.
Intinya, selama cuti yang kamu ambil masuk kategori cuti tahunan berbayar, perusahaan wajib membayar upah penuh. Akan tetapi, kalau cutinya di luar ketentuan ini seperti unpaid leave, barulah gaji tidak dibayarkan.
Karena itu, penting untuk membaca kembali aturan cuti yang berlaku di perusahaanmu supaya tahu kapan tepatnya kamu bisa mulai mengajukan cuti tahunan.
2. Cuti Besar
Cuti besar, yang dalam hukum ketenagakerjaan dikenal sebagai istirahat panjang, awalnya diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d UU No. 13 Tahun 2003.
Ketentuan lama mewajibkan perusahaan memberikan cuti besar minimal 2 bulan, masing-masing 1 bulan pada tahun ke-7 dan ke-8 kepada pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut, dengan catatan pekerja tidak mendapat cuti tahunan pada 2 tahun tersebut.
Setelah UU Cipta Kerja berlaku, aturan ini diubah menjadi istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB) dan awalnya bersifat opsional karena menggunakan kata “dapat”.
Namun, Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 menyatakan kata “dapat” inkonstitusional, sehingga cuti besar kembali menjadi hak yang wajib diberikan oleh perusahaan tertentu.
Sayangnya, hingga kini belum ada aturan turunan yang menjelaskan kriteria “perusahaan tertentu” yang wajib memberikan cuti besar.
Lama waktu dan syarat cuti besar tetap diserahkan pada pengaturan di perjanjian kerja, PP, atau PKB.
Sama seperti cuti tahunan, cuti besar termasuk cuti berbayar, sehingga pekerja tetap berhak menerima upah selama menjalankannya.
3. Cuti Bersama
Sesuai Pasal 79 UU No. 13 Tahun 2003 yang telah diubah lewat UU Cipta Kerja, setiap pekerja yang sudah bekerja minimal 12 bulan berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja.
Salah satu bentuk pemanfaatan cuti tahunan adalah cuti bersama, yaitu hari libur yang ditetapkan pemerintah di luar hari libur nasional, dan umumnya diberlakukan secara massal bagi pekerja di seluruh Indonesia.
Nah, melalui Surat Edaran Menaker No. M/6/HK.04/XII/2024, ketentuan terkait cuti bersama secara lebih rinci diatur, dengan aturan sebagai berikut:
- Cuti bersama merupakan bagian dari cuti tahunan.
- Pelaksanaannya bersifat fakultatif atau pilihan, sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan.
- Jika pekerja/buruh melaksanakan cuti pada hari cuti bersama, hak cuti tahunan berkurang sejumlah hari yang diambil.
- Jika pekerja/buruh bekerja di hari cuti bersama, hak cuti tahunan tidak berkurang, dan upah dibayarkan seperti hari kerja biasa.
- Hal ini juga ditegaskan dalam Diktum Keempat SKB 3 Menteri Cuti Bersama 2025, yang menyebut pelaksanaan cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan masing-masing perusahaan.
Untuk tahun 2025, SKB menetapkan ada 10 hari cuti bersama yang berlaku di seluruh Indonesia, kecuali perusahaan punya kebijakan berbeda (misalnya sebagian cuti bersama tidak memotong jatah cuti tahunan).
Perlu diingat, ketentuan untuk PNS/Pegawai Negeri Sipil berbeda.
PNS wajib menjalankan cuti bersama, dan cuti bersama tidak memotong hak cuti tahunan. Sementara itu, di sektor swasta, penerapannya tergantung kebijakan masing-masing perusahaan.
Umumnya skema yang berlaku di perusahan swasta adalah:
- Wajib cuti bersama dan mengurangi jatah cuti tahunan; atau
- Tidak wajib cuti bersama (pilihan), tetapi jika diambil tetap mengurangi cuti tahunan.
Jika kamu bekerja di perusahaan swasta, sebaiknya konfirmasi langsung ke HR atau periksa peraturan perusahaan untuk memastikan skema yang diterapkan di tempat kerjamu.
Baca juga: Apakah Cuti Bersama Memotong Cuti Tahunan? Ini Jawabannya
4. Cuti Hamil, Melahirkan, dan Keguguran
Undang-undang memberikan hak khusus bagi pekerja perempuan, termasuk cuti hamil, melahirkan, dan keguguran.
Pasal 82 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja perempuan berhak cuti 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, atau 1,5 bulan tambahan bila mengalami keguguran.
Hak ini kini diperluas melalui UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), yang memungkinkan cuti melahirkan hingga 6 bulan jika ibu atau bayi mengalami kondisi khusus (dengan bukti surat dokter).
Skema pembayaran upahnya adalah:
- gaji penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan ke-4, lalu;
- 75% gaji untuk bulan ke-5 dan ke-6.
Seluruh cuti tersebut bersifat cuti berbayar dan pekerja yang mengambilnya tidak dapat diberhentikan.
Baca Juga: 7 Contoh Surat Cuti Melahirkan: Format & Cara Membuatnya
5. Cuti Haid
Karyawan perempuan yang mengalami nyeri atau ketidaknyamanan saat menstruasi berhak mengambil cuti haid sesuai ketentuan Pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Aturan ini menyebutkan bahwa pekerja perempuan tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua masa haid, asalkan memberitahu pengusaha.
Pelaksanaannya diatur lebih detail dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Jadi, soal perlu atau tidaknya surat dokter tergantung aturan internal perusahaan, jika tercantum kewajiban melampirkan surat keterangan sakit, maka kamu harus menyediakannya.
Cuti haid tergolong cuti berbayar, sehingga perusahaan tetap wajib membayar upah penuh selama 2 hari tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan.
Dengan kata lain, hak ini bersifat normatif, dilindungi undang-undang, dan tidak boleh dihapuskan oleh perusahaan.
6. Cuti Sakit
Karyawan yang sakit berhak mengajukan cuti sakit dengan melampirkan surat keterangan dokter.
Berdasarkan Pasal 93 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, cuti sakit tetap dibayar dengan ketentuan:
- 100% gaji untuk 4 bulan pertama;
- 75% untuk 4 bulan kedua;
- 50% untuk 4 bulan ketiga;
- dan 25% untuk bulan berikutnya hingga maksimal 12 bulan.
Selama masa sakit belum melebihi 12 bulan berturut-turut, perusahaan tidak boleh melakukan PHK.
Jika sakit melebihi batas tersebut atau akibat kecelakaan kerja dan tidak mampu bekerja lagi, PHK dapat dilakukan dengan tetap memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan penggantian hak sesuai peraturan.
Lelah Kerja Tapi Perusahaan Melarang Cuti?
Saatnya Cari Kerja yang Lebih Mengedepankan Well-being Karyawan!

7. Cuti Menikah
Cuti menikah adalah hak karyawan yang diatur dalam Pasal 93 ayat (4) huruf a UU Ketenagakerjaan, di mana karyawan berhak tidak masuk kerja selama 3 hari karena menikah dan tetap mendapatkan upah penuh. Cuti ini termasuk ke dalam cuti karena alasan penting.
Hak ini tidak mengurangi cuti tahunan karena dikategorikan sebagai izin tidak bekerja karena alasan tertentu, bukan cuti tahunan.
Dasar hukumnya terdapat pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023, serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pelaksanaan cuti menikah, termasuk pengaturan teknis seperti boleh atau tidaknya diambil di tengah masa rotasi kerja, bergantung pada perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Jika tidak ada larangan khusus, cuti menikah dapat diambil kapan saja, termasuk saat masa rotasi.
Baca Juga: 8 Contoh Surat Cuti Menikah, dari Karyawan Swasta hingga PNS
8. Cuti Mengkhitankan Anak
Cuti mengkhitankan anak termasuk cuti karena alasan penting yang diatur dalam Pasal 93 ayat (4) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam ketentuan ini, karyawan yang tidak masuk kerja karena mengkhitankan anaknya berhak mendapatkan izin selama 2 hari dan tetap menerima upah penuh.
Hak ini tidak memotong jatah cuti tahunan, dan pelaksanaannya dapat diatur lebih rinci dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
UU tidak mengatur tambahan cuti jika karyawan mengkhitankan lebih dari satu anak di waktu yang sama, dengan kata lain aturannya tetap berlaku ketentuan 2 hari. Jika perusahaan memiliki kebijakan berbeda, hal tersebut mengikuti aturan internal yang berlaku.
9. Cuti Membaptiskan Anak
Cuti membaptiskan anak merupakan salah satu cuti karena alasan penting yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam ketentuan ini, karyawan yang tidak masuk kerja karena membaptiskan anaknya berhak atas izin selama 2 hari dan tetap menerima upah penuh. Hak ini bersifat wajib diberikan oleh perusahaan dan tidak memotong jatah cuti tahunan.
10. Cuti Ayah
Cuti melahirkan untuk suami, atau paternity leave, adalah hak yang diberikan kepada ayah untuk mendampingi istri saat melahirkan atau mengalami keguguran.
Di Indonesia, hak ini memiliki dasar hukum yang kuat, di antaranya:
- UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjamin pekerja tetap menerima gaji penuh saat istrinya melahirkan.
- Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mempertegas kewajiban pembayaran upah.
- UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang mengatur durasi cuti secara rinci.
Berdasarkan UU KIA, suami berhak cuti 2 hari saat istri melahirkan yang dapat diperpanjang hingga 3 hari sesuai kesepakatan, dan 2 hari jika istri keguguran.
Untuk kondisi khusus seperti komplikasi kesehatan atau kematian ibu/anak, durasi cuti menyesuaikan kebutuhan.
Selama menjalani cuti ini, pekerja tetap menerima upah penuh karena cuti melahirkan suami termasuk kategori cuti khusus yang tidak memotong jatah cuti tahunan.
Untuk aturan selengkapnya tentang cuti melahirkan bagi suami ini, kamu dapat membaca artikel Dealls berikut: Aturan Cuti Melahirkan Suami (Paternity Leave) di Indonesia menurut UU.
Dengan adanya aturan ini, peran ayah dalam masa awal kehidupan anak diharapkan semakin diakui dan difasilitasi, sehingga kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga bisa terjaga secara optimal.
11. Cuti Keluarga Inti Meninggal
Cuti karena anggota keluarga inti meninggal dunia termasuk cuti khusus/cuti karena alasan penting yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keluarga inti yang dimaksud di sini mencakup suami/istri, orang tua/mertua, anak, dan menantu.
Meskipun undang-undang tidak secara eksplisit menyebut istilah “cuti kematian”, Pasal 93 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa,
“Pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja karena alasan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, serta karena suami, isteri, anak, menantu, orangtua, mertua, atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.”
Adapun durasi cuti untuk keluarga inti yang meninggal adalah sebanyak 2 hari.
Ketentuan ini bersifat wajib bagi pengusaha, dan pelaksanaannya dapat diatur lebih rinci dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
12. Cuti Anggota Keluarga Serumah Meninggal
Cuti karena anggota keluarga serumah meninggal termasuk kategori cuti khusus atau cuti karena alasan penting sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang bunyinya sama dengan cuti keluarga inti meninggal sebelumnya.
Hak ini wajib diberikan oleh perusahaan dan selama periode cuti tersebut, pekerja tetap mendapatkan upah penuh.
Ketentuan terkait lamanya cuti jika ada keluarga serumah yang meninggal dunia adalah 1 hari.
Perlu dicatat, hubungan keluarga di luar yang diatur UU, seperti paman/bibi, hanya diakui jika tinggal satu rumah dengan pekerja.
Di luar itu, perusahaan tidak berkewajiban memberi cuti khusus, sehingga karyawan dapat menggunakan cuti tahunan.
Intinya, cuti karena anggota keluarga serumah meninggal dunia tetap dibayar penuh dan tidak memotong jatah cuti tahunan, selama memenuhi kriteria hubungan keluarga sesuai UU atau tinggal dalam satu rumah.
13. Cuti Haji dan Umrah
Cuti ibadah haji bagi karyawan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 80 dan Pasal 93 ayat (4), yang mewajibkan pengusaha memberikan kesempatan kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan agamanya dengan tetap dibayar penuh.
Pada Pasal 80, disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan kesempatan secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Lebih lanjut, Pasal 93 ayat (4) menyebut bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah apabila pekerja tidak bekerja karena menjalankan ibadah agama yang diwajibkan, salah satunya adalah ibadah haji.
Artinya, pekerja swasta yang menunaikan ibadah haji berhak atas cuti dengan upah penuh, tanpa memotong jatah cuti tahunan.
Namun, hak ini hanya berlaku untuk keberangkatan haji pertama. Jika menunaikan haji lebih dari sekali, perusahaan tidak berkewajiban lagi memberikan cuti khusus dengan upah.
Sementara itu, umrah belum memiliki ketentuan cuti khusus dalam undang-undang, sehingga biasanya menggunakan cuti tahunan atau cuti tidak dibayar sesuai kebijakan perusahaan/instansi.
Baca Juga: 7 Hak Cuti Karyawan Kontrak yang Harus Kamu Tahu!
Sanksi bagi Perusahaan yang Melarang Cuti Karyawan
Sanksi bagi perusahaan yang melarang atau tidak memberikan cuti karyawan diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan yang telah diperbarui melalui Perppu Cipta Kerja dan ditetapkan dengan UU No. 6 Tahun 2023.
Setiap pekerja yang telah bekerja minimal 12 bulan berturut-turut berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja, dan selama menjalankan cuti tersebut, karyawan tetap berhak menerima upah penuh.
Hak ini wajib diberikan dan tidak boleh dihapuskan sepihak oleh pengusaha, kecuali penjadwalan cutinya diatur sesuai kebutuhan operasional.
Jika perusahaan tidak memberikan hak cuti tahunan padahal karyawan telah memenuhi syarat, maka hal ini tergolong pelanggaran hukum.
Berdasarkan Pasal 187 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenai pidana kurungan 1–12 bulan dan/atau denda Rp10 juta hingga Rp100 juta.
Sanksi ini termasuk pidana, bukan sekadar pelanggaran administratif, sehingga perusahaan dapat diproses secara hukum.
Sebelum menempuh jalur pidana, undang-undang mendorong penyelesaian secara bertahap, mulai dari bipartit (musyawarah langsung antara karyawan dan perusahaan), mediasi oleh pihak Depnaker, hingga gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial jika tidak tercapai kesepakatan.
Perusahaanmu Belum Memberi Hak Cuti yang Seharusnya? Mungkin Saatnya Cari Lowongan Kerja Baru di Dealls!
Kalau perusahaanmu saja berani mengabaikan hak cuti yang jelas-jelas diatur undang-undang, bayangkan perlakuan mereka untuk hakmu yang lain.
Terus bertahan di tempat seperti itu sama saja membiarkan diri kamu diperlakukan tidak adil setiap hari.Lingkungan kerja toxic tidak akan tiba-tiba berubah menjadi sehat, maka kamu yang harus mengambil langkah untuk resign dan mencoba peruntungan di tempat lain.
Sebelum situasi semakin parah, kamu bisa coba temukan 100.000+ lowongan kerja terpercaya dari perusahaan yang menghargai karyawan, memberi hak sesuai aturan, dan punya budaya kerja positif pakai Dealls.

Menariknya, Dealls punya fitur filter fasilitas, sehingga kamu bisa menyaring loker berdasarkan fasilitas seperti cuti sesuai keinginanmu.

Yuk, temukan pilihan terbaikmu di Dealls dan segera cari lowongan tempat kerja yang lebih menghargai keberadaanmu.
