Hustle culture telah menjadi fenomena yang semakin banyak diperbincangkan, terutama di kalangan anak muda yang berambisi mengejar kesuksesan. Dalam dunia yang serba cepat ini, bekerja keras tanpa henti dianggap sebagai jalan utama menuju pencapaian. Namun, apakah benar hustle culture selalu membawa dampak positif?
Di artikel ini, Dealls membahas lebih dalam mengenai apa itu hustle culture, ciri-cirinya, hingga dampaknya terhadap kesehatan mental, serta bagaimana cara menghadapinya agar tidak terjebak dalam pola kerja yang berlebihan.
Baca Juga: Apa Itu Work-Life Balance dan Mengapa Penting?
Apa Itu Hustle Culture?
Hustle culture adalah konsep yang mengutamakan kerja keras, produktivitas tanpa henti, dan ambisi yang kuat untuk mencapai kesuksesan, sering kali tanpa memperhatikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Selaras dengan hal tersebut, Talkspace menyebutkan hustle culture terjadi ketika lingkungan kerja menekankan fokus yang intens pada produktivitas dan ambisi, dengan sedikit memperhatikan waktu istirahat dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan (work-life balance).
Gaya hidup ini semakin populer dalam beberapa tahun terakhir karena banyak orang ingin mencapai tujuan profesional mereka dengan cepat dan efisien. Namun, meskipun terlihat menarik, pola pikir 'terus-menerus bekerja' ini telah banyak dikaitkan dengan masalah kesehatan mental, seperti meningkatnya kecemasan, stres, dan depresi. Dalam jangka panjang, produktivitas justru bisa menurun, dan banyak pekerja yang terjebak dalam budaya toxic ini akhirnya mengalami burnout atau kelelahan mental dan fisik.
Baca Juga: Kenali 15 Ciri-Ciri Burnout, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
Ciri-Ciri Hustle Culture
Hustle culture memiliki beberapa tanda yang bisa kamu kenali, terutama dalam lingkungan kerja yang sangat kompetitif dan berorientasi pada hasil. Berikut adalah beberapa ciri utama dari hustle culture:
1. Bekerja Tanpa Henti
Kamu merasa harus selalu bekerja tanpa waktu untuk istirahat atau menikmati hobi. Bahkan, akhir pekan pun dihabiskan untuk pekerjaan.
2. Mengabaikan Kesejahteraan Pribadi
Dalam hustle culture, istirahat, kesehatan mental, dan fisik sering diabaikan. Tidur cukup dan olahraga dianggap kurang penting dibandingkan produktivitas.
3. Selalu Merasa Kurang Produktif
Tidak peduli seberapa banyak kamu sudah bekerja, kamu merasa belum cukup dan terus mendorong diri untuk melakukan lebih banyak.
4. Memuja Kesibukan
Dalam budaya ini, kesibukan dianggap sebagai simbol kesuksesan. Orang yang selalu sibuk terlihat lebih berhasil dibandingkan mereka yang punya waktu luang.
5. Tekanan Untuk Terus Mencapai Target
Kamu mungkin merasa bahwa kesuksesan diukur dari seberapa cepat dan banyak target yang bisa dicapai, sehingga ada tekanan besar untuk selalu bekerja keras tanpa jeda.
6. Burnout Menjadi Hal Biasa
Karena bekerja terus-menerus tanpa memperhatikan keseimbangan, kelelahan fisik dan mental menjadi risiko nyata. Burnout dianggap wajar dalam hustle culture, padahal sangat berbahaya untuk kesehatan jangka panjang.
Bagaimana Cara Menghadapi Hustle Culture?
Menghadapi hustle culture membutuhkan kesadaran diri dan upaya untuk menjaga keseimbangan hidup. Berikut beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk melawan tekanan dari hustle culture:
1. Prioritaskan Kesehatan Mental dan Fisik
Jangan abaikan kebutuhan istirahat, tidur, dan olahraga. Luangkan waktu untuk kegiatan yang bisa membantu mengurangi stres, seperti meditasi, olahraga ringan, atau sekadar berjalan-jalan di luar ruangan. Ingat, kesehatan adalah aset terpenting yang mendukung produktivitas jangka panjang.
2. Tetapkan Batasan yang Jelas antara Kerja dan Waktu Pribadi
Pastikan kamu memiliki batasan yang jelas kapan waktu untuk bekerja dan kapan waktu untuk istirahat. Jangan biarkan pekerjaan menyita seluruh waktumu. Matikan notifikasi kerja di luar jam kerja dan berikan dirimu waktu untuk bersantai.
3. Kelola Waktu dengan Efektif
Bekerja lebih pintar, bukan lebih keras. Gunakan teknik manajemen waktu, seperti Pomodoro atau teknik blok waktu, untuk membantu kamu tetap produktif tanpa harus bekerja sepanjang hari. Fokuslah pada tugas-tugas penting dan hindari multitasking yang berlebihan.
4. Cari Hobi atau Aktivitas di Luar Pekerjaan
Miliki hobi atau kegiatan di luar pekerjaan yang bisa membuatmu merasa senang dan relaks. Dengan terlibat dalam aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, kamu bisa merasa lebih segar dan memiliki perspektif yang lebih baik terhadap hidupmu.
5. Belajar untuk Berkata “Tidak”
Belajar mengatakan 'tidak' terhadap pekerjaan tambahan yang tidak perlu adalah langkah penting untuk menjaga keseimbangan hidup. Jangan merasa bersalah jika kamu perlu menolak pekerjaan atau tanggung jawab yang berlebihan.
6. Evaluasi Kembali Tujuan Kariermu
Tanyakan pada diri sendiri, apakah tujuan kariermu sepadan dengan pengorbanan yang kamu lakukan? Apakah ada cara lain untuk mencapai sukses tanpa harus terus-menerus bekerja keras? Evaluasi ini bisa membantumu menemukan cara yang lebih sehat untuk mencapai impian tanpa terseret dalam hustle culture.
7. Dapatkan Dukungan Sosial
Bicarakan perasaan dan tekanan yang kamu rasakan kepada teman, keluarga, atau rekan kerja. Dukungan sosial bisa membantumu merasa lebih ringan dalam menghadapi tekanan pekerjaan dan menjaga perspektif yang lebih sehat terhadap karier.
Perbedaan Hustle Culture dengan Toxic Productivity
Meskipun hustle culture dan toxic productivity sering kali tumpang tindih, keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam pola pikir dan dampaknya terhadap individu:
1. Fokus Utama
Hustle Culture berfokus pada ambisi untuk meraih kesuksesan dalam karier dan kehidupan, di mana bekerja tanpa henti dipandang sebagai jalan utama untuk mencapai tujuan besar. Budaya ini mempromosikan produktivitas ekstrem sebagai cara hidup.
Toxic Productivity lebih mengarah pada dorongan untuk terus bekerja, bahkan saat tugas tersebut tidak produktif atau berkontribusi signifikan terhadap tujuan besar. Orang yang terjebak dalam toxic productivity merasa harus selalu sibuk, meskipun pekerjaannya tidak efektif atau diperlukan.
2. Motivasi Penggerak
Hustle Culture sering kali didorong oleh motivasi eksternal seperti pengakuan sosial, pencapaian material, atau status. Budaya ini membuat orang berpikir bahwa semakin keras dan panjang mereka bekerja, semakin sukses mereka akan terlihat.
Toxic Productivity lebih dipicu oleh kecemasan pribadi. Orang yang terjebak di dalamnya merasa bersalah jika tidak bekerja atau beristirahat. Mereka cenderung merasa tidak pernah cukup produktif, meskipun sudah menyelesaikan banyak pekerjaan.
3. Dampak Mental dan Emosional
Hustle Culture dapat menyebabkan burnout karena tekanan untuk terus bekerja tanpa batasan. Individu mungkin merasa stres karena selalu harus mencapai level yang lebih tinggi.
Toxic Productivity bisa menyebabkan kecemasan terus-menerus, rasa tidak pernah cukup, dan stres yang berlebihan karena selalu merasa ada yang kurang atau belum dikerjakan.
Hustle Culture dan Kesehatan Mental
Hustle culture sering dikaitkan dengan dampak negatif terhadap kesehatan mental. Ketika seseorang terus-menerus didorong untuk produktif tanpa henti, berbagai masalah kesehatan mental dapat muncul, seperti:
1. Stres Berlebihan
Hustle culture menekankan pada pencapaian yang tinggi dan ambisi yang tanpa henti, sehingga seseorang merasa selalu tertekan untuk mencapai target. Kegagalan untuk mencapai ekspektasi ini sering kali memicu tingkat stres yang tinggi.
2. Kecemasan
Tekanan untuk selalu berada di puncak produktivitas dapat menimbulkan kecemasan, karena individu merasa takut tidak mampu memenuhi standar kesuksesan yang ditetapkan. Kecemasan ini sering diperparah dengan perasaan bersalah ketika beristirahat atau tidak bekerja.
3. Depresi
Ketika seseorang terus-menerus merasa tidak cukup produktif atau gagal mencapai ekspektasi, perasaan ketidakberdayaan bisa muncul, yang dapat menyebabkan depresi. Depresi sering kali diperparah oleh isolasi diri akibat fokus berlebihan pada pekerjaan dan mengabaikan aspek sosial atau pribadi.
4. Burnout
Salah satu dampak terbesar dari hustle culture adalah burnout. Burnout terjadi ketika tubuh dan pikiran sudah lelah secara fisik dan mental karena bekerja tanpa henti. Ini bukan hanya kelelahan sementara, tetapi kondisi kronis yang bisa mempengaruhi performa kerja dan kesejahteraan hidup secara keseluruhan.
5. Tidak Seimbangnya Work-Life Balance
Hustle culture sering kali mendorong individu untuk mengorbankan waktu istirahat, keluarga, dan hobi demi mencapai tujuan karier. Akibatnya, keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi tidak seimbang, yang pada gilirannya merusak kesehatan mental.
Sekian pembahasan dari Dealls mengenai hustle culture, mulai dari definisi hingga dampaknya pada kesehatan mental. Semoga bermanfaat dalam membantu kamu memahami sisi lain dari gaya hidup yang produktif ini.
Sambil mencari pekerjaan dengan work-life balance, kamu bisa menjelajahi peluang karier di perusahaan ternama di Indonesia dengan melamar ke lowongan kerja terbaru setiap harinya di Dealls.
Selain itu, kamu juga bisa berdiskusi dengan career mentor profesional untuk merencanakan jalur kariermu secara lebih matang. Jangan lupa, Dealls juga gunakan AI CV Reviewer, CV ATS Checker untuk menganalisis apakah CV kamu sudah sesuai dengan posisi yang kamu inginkan. Kamu juga bisa mencoba tes kepribadian secara gratis untuk lebih memahami potensi diri.
Yuk, capai karier impianmu dengan Dealls!
Sumber:
Hustle Culture: The Toxic Impact on Mental Health — Talkspace