Apa Itu Toxic Positivity? Kenali Tanda dan Cara Mengatasinya

Kenali apa itu toxic positivity, tanda-tandanya, dampaknya pada kesehatan mental, dan cara mengatasinya.

Dealls
Ditulis oleh
Dealls December 27, 2024

Ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana, pasti ada momen di mana kita merasa kecewa, sedih, atau marah. Namun, sering kali kita mendengar kalimat seperti "Semangat terus!" atau "Jangan sedih!" Kalimat-kalimat ini mungkin dimaksudkan untuk menyemangati, tapi tahukah kamu bahwa ini bisa menjadi contoh toxic positivity? Yuk, kita bahas lebih lanjut tentang apa itu toxic positivity, bagaimana mengenali tandanya, serta cara mengatasinya dengan bijak!

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah situasi di mana seseorang memaksakan pikiran positif sambil mengabaikan emosi negatif yang wajar dirasakan. Ini seperti memaksa diri atau orang lain untuk selalu “happy” tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi di dalam hati. Meskipun terlihat sederhana, perilaku ini ternyata bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Dilansir dari PsychologyTodaytoxic positivity adalah tindakan menghindari, menekan, atau menolak emosi atau pengalaman negatif. Misalnya, seseorang menyangkal emosinya sendiri atau menolak perasaan orang lain dengan memaksa mereka berpikir positif. Meskipun kadang kita butuh menunda saat memvalidasi perasaan untuk sementara waktu, menolak emosi negatif secara terus-menerus justru dapat memperburuk stres.

Bayangkan kamu sedang sedih karena gagal mendapatkan pekerjaan impianmu, lalu temanmu mengatakan, "Sudah, jangan dipikirkan, pasti ada jalan lain". Kalimat ini mungkin bermaksud baik, tapi jika terus-menerus disampaikan tanpa memberi ruang untuk mengakui perasaanmu, bisa membuatmu merasa tidak didengarkan. Di sinilah toxic positivity mulai membayangi kesehatan mental kita.

Baca Juga: Alami Burnout? Ini 10 Cara Mengatasinya!

Tanda-Tanda Toxic Positivity

tanda tanda toxic positivity

Dilansir dari ThePsychologyGroup, berikut adalah beberapa tanda toxic positivity yang mungkin pernah kamu alami atau lakukan. Yuk, kenali agar bisa dihindari:

1. Menyembunyikan atau Memendam Perasaan yang Sebenarnya

Pernahkah kamu merasa perlu berpura-pura bahagia di depan orang lain, padahal hatimu sedang dalam keadaan tidak baik? Misalnya, saat seseorang bertanya “Apakah kamu baik-baik saja?” dan kamu menjawab “Iya, aku baik-baik saja”, padahal kenyataannya kamu tidak baik-baik saja. Memendam perasaan ini sering dianggap wajar, tapi jika terus dilakukan, lama-lama kamu kehilangan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri.

2. Mengabaikan atau Menekan Emosi yang Tidak Nyaman

Dalam situasi sulit, kamu mungkin memilih untuk "jalan terus" dan mengabaikan rasa sedih atau kecewa. Meskipun kelihatannya lebih praktis, emosi yang ditekan tidak akan hilang begitu saja. Emosi ini justru akan muncul kembali di kemudian hari dalam bentuk yang lebih intens, seperti stres atau kecemasan.

3. Merasa Bersalah Karena Memiliki Emosi Negatif

Kadang, kamu merasa bersalah hanya karena sedih atau marah, seolah-olah perasaan tersebut adalah kesalahan. Padahal, emosi negatif adalah respons normal terhadap situasi yang sulit. Rasa bersalah ini muncul karena adanya ekspektasi bahwa kamu harus selalu bahagia, padahal kebahagiaan tidak selalu relevan di setiap waktu.

4. Meremehkan Pengalaman Orang Lain dengan Kalimat Positif

Kalimat seperti "Jangan terlalu dipikirkan, masih banyak orang yang lebih buruk" sering diucapkan untuk menghibur. Namun, bagi orang tersebut, mungkin ini bisa terasa menyakitkan karena pengalaman mereka dianggap sepele. Sebaiknya, hindari ucapan seperti ini dan fokuslah pada empati.

5. Berusaha Memberi Perspektif yang Salah

Ketika seseorang menceritakan kesulitannya, kamu mungkin mencoba memberikan perspektif seperti “Syukuri saja, ada hikmah di balik ini”. Meski niatmu baik, kalimat ini tidak selalu membantu. Validasi emosi mereka dulu sebelum memberi masukan, agar mereka merasa didukung.

6. Menghakimi Orang yang Mengekspresikan Frustrasi

Terkadang, ketika seseorang mengeluh, kamu langsung menyuruh mereka melihat sisi baiknya. Kalimat seperti "Jangan negatif thinking dulu, coba lihat hal baiknya" bisa membuat mereka merasa dihakimi. Padahal, emosi negatif itu perlu diekspresikan agar tidak terpendam.

7. Menganggap Remeh Hal yang Mengganggu

Ucapan seperti "Sudah, biarkan saja, it is what it is" sering kali digunakan untuk menghindari pembahasan yang tidak nyaman. Namun, hal ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, justru membuat orang merasa diabaikan.

Dampak Toxic Positivity pada Kesehatan Mental

Dilansir dari VeryWellMind, terlalu banyak positivitas bisa menjadi racun karena melukai mereka yang sedang menghadapi masa sulit. Berikut adalah beberapa dampaknya:

1. Menghambat Pemulihan Emosi

Ketika kamu menekan perasaan sedih, kecewa, atau marah, tubuh dan pikiranmu tidak mendapat kesempatan untuk memprosesnya dengan sehat. Akibatnya, kamu sulit benar-benar pulih dari situasi yang berat. Pemulihan emosi membutuhkan pengakuan dan penerimaan, bukan penolakan.

2. Meningkatkan Stres dan Kecemasan

Toxic positivity menciptakan tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja, bahkan ketika kamu sebenarnya sedang hancur. Tekanan ini bisa memicu stres berlebih karena kamu harus terus “menjaga citra.” Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan kecemasan dan burnout.

Baca Juga: Kenali 15 Ciri-Ciri Burnout, Penyebab, dan Cara Mengatasinya

3. Merusak Hubungan dengan Orang Lain

Ketika kamu sering merespons keluhan orang lain dengan kalimat seperti "Kamu terlalu berlebihan" mereka akan merasa tidak didukung. Lama-kelamaan, orang tersebut mungkin akan menjauh darimu karena merasa emosinya tidak dihargai. Hubungan yang sehat membutuhkan empati, bukan penolakan terhadap perasaan.

4. Menurunkan Kesehatan Emosional

Jika kamu terus mengabaikan perasaan negatif, kesehatan emosionalmu akan terpengaruh. Kamu mungkin menjadi tidak peka terhadap kebutuhan emosionalmu sendiri dan merasa kosong, meskipun dari luar mungkin terlihat baik-baik saja.

Cara Mengatasi dan Menghindari Toxic Positivity

cara mengatasi toxic positivity

Mengatasi toxic positivity bukan berarti kamu harus menjadi pesimis. Justru, ini tentang belajar menerima emosi dengan seimbang. Berikut beberapa langkah yang bisa kamu coba:

1. Akui dan Terima Emosi Negatif

Belajarlah untuk menerima bahwa emosi negatif seperti sedih, marah, atau kecewa adalah bagian dari kehidupan. Ketika kamu mengakui emosi ini, kamu memberi diri sendiri izin untuk merasakan dan memprosesnya. Misalnya, jika kamu merasa sedih, cobalah menuliskan perasaanmu di jurnal atau bicarakan dengan teman dekat.

2. Dengarkan dengan Empati

Ketika seseorang berbagi kesulitan, hindari langsung memberi solusi atau komentar positif. Fokuslah untuk mendengarkan mereka dengan empati. Tunjukkan bahwa kamu peduli dengan mengatakan, "Aku tahu ini sulit untukmu, aku ada di sini jika kamu membutuhkan". Respon sederhana seperti ini bisa membuat mereka merasa dihargai.

3. Hindari Kalimat yang Memaksakan Positivitas

Ubah kebiasaan memberikan komentar seperti "Jangan sedih, pasti ada jalan lain". Sebagai gantinya, katakan sesuatu yang lebih suportif, misalnya, "Aku mengerti ini berat buat kamu, apa yang bisa aku bantu?" Dengan begitu, kamu menunjukkan dukungan tanpa mengesampingkan perasaan mereka.

4. Berikan Dukungan yang Nyata

Selain kata-kata, tindakan konkret bisa sangat membantu. Misalnya, tawarkan diri untuk menemani temanmu saat mereka sedang merasa sedih, atau bantu mereka mencari solusi untuk masalah yang dihadapi. Dukungan nyata lebih berarti daripada sekadar memberi kata-kata penghibur.

5. Berlatih Mengekspresikan Perasaan dengan Sehat

Cobalah untuk lebih jujur tentang apa yang kamu rasakan. Jika kamu marah, ungkapkan dengan cara yang tidak merugikan orang lain, seperti berbicara dengan tegas tapi tetap sopan. Kamu juga bisa mencari kegiatan bermanfaat lainnya seperti olahraga, meditasi, atau kegiatan kreatif untuk melampiaskan emosi.

6. Ciptakan Lingkungan yang Mendukung

Pastikan kamu berada di lingkungan yang menghargai emosi, baik positif maupun negatif. Jika teman atau keluargamu cenderung toxic, cobalah untuk berbicara dengan mereka tentang pentingnya mendukung satu sama lain tanpa memaksakan diri untuk selalu merasa bahagia.

Mengatasi toxic positivity tidak berarti kamu harus menjadi orang yang pesimis. Sebaliknya, ini tentang menciptakan keseimbangan antara menerima emosi negatif dan tetap menjaga semangat. Dengan begitu, kamu bisa menjalani hidup dengan lebih sehat secara emosional.

Selain itu, jangan lupa untuk terus mengembangkan dirimu, termasuk dalam karier. Jika kamu sedang mencari peluang kerja, mentoring, atau ingin mengecek CV kamu, kunjungi platform Dealls. Di sini, kamu bisa menemukan lowongan kerja terbaru, mendapatkan panduan dari career mentor, atau menggunakan ATS checker untuk meningkatkan peluangmu!

Sumber:

Toxic Positivity

Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes

Why Toxic Positivity Can Be Harmful

Tips Pengembangan Karir
Bagikan

Lamar ke Lowongan Kerja Terbaru Setiap Harinya